21.10.2025
Waktu membaca: 4 menit

Thailand Pecat Masatada Ishii : Tujuan Tak Lagi Sepaham

Thailand Pecat Masatada Ishii : Tujuan Tak Lagi Sepaham

Langit Bangkok lagi-lagi berawan buat tim nasional Thailand. Federasi Sepak Bola Thailand (FAT) resmi menendang keluar pelatih kepala mereka, Masatada Ishii, Senin (21/10). Langkah ini datang usai rapat panjang yang katanya penuh evaluasi, tapi kalau dibaca situasinya, jelas: Tujuan udah nggak sama lagi antara federasi dan sang pelatih asal Jepang. (TVOneNews, 20/10)

Dari luar sih terdengar sopan katanya “berpisah baik-baik”. Tapi di baliknya, ada aroma frustrasi yang udah lama tercium. FAT merasa arah permainan Thailand di bawah Ishii terlalu hati-hati, terlalu defensif, dan jauh dari gaya sepak bola progresif yang mereka mau bangun. Sementara Ishii sendiri, tetap dengan filosofi Jepangnya: disiplin, struktur, dan efisiensi. Dua hal ini nggak ketemu di tengah jalan.

Sumber di internal FAT bilang kalau evaluasi ini udah bergulir sejak pertengahan 2025. Meski Thailand sempat tampil oke di beberapa laga regional, hasil di turnamen besar dan posisi FIFA yang stagnan bikin semua pencapaian itu terasa hambar. FAT masih sempat kasih kesempatan. Tapi hasilnya? Nihil. Nggak ada lonjakan signifikan. Komite teknis yang diisi nama-nama besar kayak Dr. Charnwit Phalajivin dan Piyapong Pue-on akhirnya merekomendasikan satu kata: pisah. (TVOneNews, 20/10)

Madam Pang sosok flamboyan di kursi presiden FAT tetap tampil elegan di depan media. “Kami berterima kasih atas kerja keras Coach Masatada, tapi sekarang saatnya membawa filosofi baru yang cocok dengan generasi pemain Thailand saat ini,” ujarnya (TVOneNews, 20/10).
Bahasa halus untuk sebuah keputusan keras.

Perbedaan Visi pada Tujuan FAT dan Ishii

Kalau ditarik ke akar masalah, ini soal visi sepak bola. Ishii datang dengan pendekatan realistis ala Jepang: taktis, rapi, tapi cenderung menahan diri. FAT sebaliknya mereka mau Thailand tampil ngotot dan menghibur, menyerang dengan gaya khas Asia Tenggara.

“FAT ingin tim nasional Thailand lebih atraktif dan menghibur, seperti era Changsuek dulu,” tulis Bangkok Post (21/10).


Masalahnya, Ishii bukan tipe pelatih yang suka berjudi di lapangan. Ia memilih aman. Dan di sepak bola modern, terutama di Asia Tenggara yang makin eksplosif, gaya aman kadang malah jadi bumerang. Selain itu, isu regenerasi juga jadi batu sandungan. Pemain muda minim menit bermain, dan itu bikin publik kecewa. Padahal talenta muda Thai League lagi banyak-banyaknya. (Kompas, 21/10)

Publik Bertanya : Harusnya Dikasih Waktu atau Sudah Waktunya?

(Momen Kedekatan Theerathon Bunmathan dan Ishii)

Begitu keputusan pemecatan keluar, reaksi publik langsung meledak di media sosial. Sebagian besar fans bilang FAT udah di jalur benar karena performa tim stagnan. Tapi nggak sedikit juga yang merasa Ishii belum dikasih waktu cukup.

Eks kapten timnas, Theerathon Bunmathan, bahkan ikut bersuara:

“Kalau tiap tahun ganti pelatih, kapan tim ini bisa punya arah yang jelas?”
(Channel 3, 21/10)

Argumen valid, tapi realitanya sepak bola modern nggak sabar. FAT punya agenda padat menuju Piala Asia 2027 dan Kualifikasi Piala Dunia 2030 dan mereka nggak bisa menunggu proyek yang jalan di tempat. (TVOneNews, 20/10)

Kalau kamu pikir cuma Thailand yang lagi sibuk bongkar pasang pelatih, lihat sekeliling. Tahun ini aja, PSSI juga baru nyetop kerja sama dengan Patrick Kluivert usai gagal di kualifikasi Piala Dunia 2026 (Tempo, 16/10). Vietnam dan Malaysia juga ikut merombak struktur kepelatihannya. Seperti kata analis sepak bola ASEAN, Chatchai Worachart

“Federasi di Asia Tenggara sering terjebak antara hasil cepat dan proyek jangka panjang. Begitu hasil nggak sesuai, langsung reset.” (Suara, 21/10)  Masalah klasik, tapi terus berulang.

Sekarang, semua mata tertuju pada siapa pengganti Ishii. Nama Kiatisuk Senamuang legenda yang sempat membawa Thailand berjaya di era 2010-an masuk radar. Tapi FAT juga dikabarkan melirik Alex Pastoor, pelatih asal Belanda yang pernah dikaitkan dengan Timnas Indonesia. (TVOneNews, 20/10)

Madam Pang menegaskan, target utama adalah pelatih yang paham DNA sepak bola Thailand dan bisa menonjolkan pemain muda. “Kami tidak hanya mencari pelatih berprestasi, tapi sosok yang bisa membangun karakter tim untuk jangka panjang,” ujarnya (Kompas, 21/10). Era Masatada Ishii resmi berakhir di Negeri Gajah Putih. Walau pahit, keputusan ini jadi sinyal kuat: FAT ingin menata ulang arah permainan dan filosofi tim nasional.  Tantangannya sekarang? Menemukan keseimbangan antara kontinuitas dan perubahan. Karena di Asia Tenggara, sepak bola bukan cuma soal menang tapi soal bagaimana cara menangnya.

Dan di titik ini, Thailand memilih bertaruh. Lagi.