21.10.2025
Waktu membaca: 4 menit

Sindiran Tajam Alex Pastoor untuk Target Besar PSSI

Sindiran Tajam Alex Pastoor untuk Target Besar PSSI

Ketika mantan asisten pelatih Timnas Indonesia, Alex Pastoor, akhirnya buka suara usai pemecatannya di kanal youtube Ziggo Sport, publik sepak bola Tanah Air langsung ramai memperbincangkan. Bukan sekadar curahan hati pelatih yang kecewa, tetapi kritik tajam yang menampar keras wajah manajemen sepak bola nasional  yang dinilai terlalu ambisius tanpa melihat realitas di lapangan (tvOneNews, 20/10).

(Wawancara Alex Pastoor setelah OUT dari timnas)

Sejak awal, PSSI memang memasang target tinggi: lolos ke Piala Dunia 2026. Ambisi besar itu terdengar heroik, namun di mata Pastoor, target tersebut masih jauh dari realistis.

“Tim peringkat 119 dunia mau bersaing lawan Arab dan Irak buat ke Piala Dunia? Itu tidak realistis,” ujar Pastoor dalam wawancara bersama media Belanda, Voetbal International (Bola.net, 21/10).

Menurut Pastoor, Indonesia masih tertinggal dalam banyak aspek  mulai dari konsistensi permainan, kesiapan fisik, hingga infrastruktur sepak bola. Ia menilai pekerjaan utama seharusnya fokus pada pembangunan pondasi dan sistem yang kuat, bukan sekadar mengejar hasil instan (iNews, 21/10). Lebih lanjut, Pastoor menggambarkan situasi di mana timnas harus menghadapi lawan seperti Arab Saudi dan Irak yang unggul secara taktik, pengalaman, dan daya tahan. “Kami bekerja untuk membangun sistem, tapi sistemnya belum siap,” tegasnya (VIVA, 20/10).

Penekanan pada Fondasi yang Belum Kokoh

Dalam proyek awalnya bersama PSSI, Pastoor telah menyusun tiga prioritas utama:

  1. Mengembangkan pemain muda agar memiliki mental dan kemampuan teknis yang kuat.
  2. Memperkuat tim nasional dengan basis pemain lokal kompetitif.
  3. Membangun roadmap jangka panjang yang berkelanjutan (Bola.com, 21/10).

Namun, ia menilai fokus federasi berubah di tengah jalan  lebih mengutamakan hasil cepat ketimbang proses pembentukan sistem. “PSSI lebih sering berbicara tentang target daripada strategi,” ucapnya. Ketika hasil tidak sesuai harapan, yang dikorbankan bukan sistem, melainkan orang-orang yang sedang berusaha memperbaikinya (Jawapos, 21/10).

Kritik Realistis untuk Tujuan keDewasaan PSSI 

Di Eropa, Pastoor dikenal sebagai pelatih akademis dan detail. Ia bukan sosok yang mencari sensasi. Karena itu, kritiknya terhadap PSSI bukan bentuk pesimisme, melainkan refleksi realistis terhadap kondisi sepak bola Indonesia.

 “Kalau Indonesia ingin punya pelatih top dunia, federasinya juga harus siap dengan ekspektasi yang masuk akal,” katanya dalam wawancara dengan Ziggo Sport (Bola.net, 21/10).

Pastoor juga menyoroti inkonsistensi dalam pengambilan keputusan federasi. Strategi yang sering berubah, evaluasi dangkal, dan tekanan publik yang berlebihan dinilai menjadi penghambat utama perkembangan timnas (IDN Times, 20/10).

Ia menegaskan, kritiknya bukan bentuk merendahkan Indonesia. “Mimpi besar itu bagus, asal tahu bagaimana cara membangunnya dari bawah,” ujar Pastoor (VIVA, 20/10).

Komentar Pastoor memicu reaksi beragam di kalangan publik. Sebagian mendukung pernyataannya sebagai bentuk kejujuran dan refleksi realitas, sementara sebagian lain menilainya sebagai sikap tidak nasionalis.  Padahal, jika melihat perjalanan di Kualifikasi Piala Dunia  terutama dua kekalahan dari Irak dan Arab Saudi  jarak kompetitif Indonesia dengan negara papan atas Asia masih sangat nyata (tvOneNews, 20/10).

Kritik Pastoor seolah membuka kembali luka lama: bahwa pembangunan sepak bola butuh waktu dan konsistensi, bukan sekadar semangat sesaat atau target politik (Kompas, 21/10). Menariknya, Pastoor mengaku tidak menyesali pemecatannya. Ia menganggap hal tersebut sebagai bagian dari dinamika politik sepak bola Indonesia.

 “Saya bukan pesulap. Kami hanya pelatih sepak bola,” ujarnya sambil tersenyum (Voetbal International, 21/10).

Pastoor menilai tekanan berlebihan dari federasi membuat suasana kerja menjadi tidak kondusif. Banyak intervensi non-teknis yang akhirnya mengganggu proses pembentukan tim (Bola.com, 21/10). Meski meninggalkan Indonesia dengan catatan pahit, Pastoor tetap menyimpan optimisme. Ia memuji semangat generasi muda timnas dan menyebut bahwa potensi besar tetap ada  asal diberi ruang tumbuh dalam sistem yang benar.

“Potensi itu tidak akan berkembang kalau terus dipaksa berlari dalam sistem yang belum siap,” katanya (tvOneNews, 20/10).

Pernyataan Alex Pastoor mungkin terdengar keras, namun isinya tidak lain adalah cermin bagi sepak bola nasional. Target besar seperti lolos ke Piala Dunia tidak salah, asalkan dibangun di atas dasar yang kuat dan realistis.

Sepak bola bukan sprint tiga tahun, melainkan maraton panjang yang menuntut konsistensi, visi, dan keberanian untuk memperbaiki fondasi. Jika PSSI ingin benar-benar maju, waktunya berhenti menjual mimpi  dan mulai bekerja dari akar.