21.10.2025
Waktu membaca: 5 menit

Konflik dan Penolakan Halus Mees Hilgers di FC Twente

Konflik dan Penolakan Halus Mees Hilgers di FC Twente

Drama antara Mees Hilgers dan manajemen FC Twente kini memasuki fase penuh ketegangan. Sang bek keturunan Indonesia-Belanda itu menolak kontrak baru dengan cara paling elegan: diam dan tenang. Namun di balik sikap kalem tersebut, tersimpan rasa kecewa mendalam terhadap kebijakan klub yang dinilai terlalu keras dan tidak menghargai kontribusinya (Bola.net, 20/10).
Hilgers memilih turun dari sorotan publik, enggan membuat pernyataan terbuka, namun memilih cara paling diplomatis untuk melawan: menolak secara halus. Aksi ini menjadi titik balik dari hubungan panjangnya dengan FC Twente yang sudah ia bela sejak masih remaja.

Masalah bermula ketika FC Twente membuat kebijakan tegas pada awal musim panas 2025. Semua pemain yang kontraknya akan berakhir dalam dua tahun diwajibkan memperpanjang masa kerja. Bila menolak, mereka akan dibekukan dari skuad utama (Suara.com, 18/10).
Mees Hilgers yang kontraknya berakhir pada Juni 2026 termasuk dalam kelompok tersebut. Ketika tawaran kontrak baru diajukan, ia tak langsung menolak, melainkan tidak memberikan respons sama sekali. Diamnya itu dianggap perlawanan dalam senyap – sinyal bahwa ia merasa keputusan klub sudah melewati batas profesionalitas (Voetbal Primeur, 20/10).

Sebenarnya Hilgers sempat hampir hengkang pada bursa transfer musim panas. Klub Prancis Stade Brest sudah sepakat prinsip dengan Twente dan sang pemain, tapi transfer gagal di detik akhir karena keterlambatan jadwal medis (Kumparan, 20/10). Sejak saat itu, hubungan antara Hilgers dan manajemen memburuk drastis.

Loyalitas Hilgers yang tak dihargai

(Ego Streuer tergores atas penolakan halus Mees Hilgers dalam wawancara dengan media Belanda)

Direktur Teknik Jan Streuer secara terbuka menyebut sikap Hilgers “memalukan” dalam wawancaranya di media lokal. Ia menilai, pemain harus menunjukkan loyalitas kepada klub yang telah membesarkannya.

“Kami sudah memberi tawaran yang kami anggap adil. Tapi kalau dia memang tidak mau, semuanya selesai,” kata Streuer (Jawapos, 21/10).

Namun dari sisi Hilgers, kritik itu justru memperkuat keputusannya. Menurut laporan Kumparan Bola, sang pemain merasa tidak dihargai sebagai individu. Ia memilih tidak mempublikasikan penolakannya karena ingin menjaga nama baik klub, tetapi secara internal, ia telah menyampaikan keinginannya untuk meninggalkan Enschede pada Januari 2026 (Kumparan Bola, 20/10).

Bagi Hilgers, masalah ini bukan perkara uang. Ia kecewa dengan perlakuan klub yang terkesan menghukum pemain hanya karena belum memperpanjang kontrak. Sejak Agustus, ia praktis dibekukan dan tidak diturunkan dalam satupun laga resmi di Eredivisie (Bola.com, 20/10).

(Sikap solid Ricky van Wolfswinkel kepada Mees Hilgers sebagai teman satu team)

Meski jarang tampil, Hilgers tetap berlatih penuh dan menjaga profesionalitas. Beberapa rekan, termasuk kapten Ricky van Wolfswinkel, bahkan membela sikapnya di hadapan media.

“Mees tetap bagian dari kami. Tak seorang pun di ruang ganti mengucilkannya,” ujar Ricky (iNews.id, 21/10). 

Sikap kalem dan penuh respek itulah yang justru membuatnya mendapat simpati dari sejumlah pengamat sepak bola Belanda. Mantan pelatih Twente, Ron Jans, menilai Hilgers punya kedewasaan emosional untuk tidak menambah konflik, meski menjadi pihak yang paling dirugikan (Bolasport, 17/10).

Ultimatum FC Twente Dibalas Langkah Elegan Mees Hilgers

Manajemen Twente kemudian memberikan ultimatum: Hilgers hanya akan dimainkan jika meneken kontrak baru. Kebijakan ini dikritik luas oleh publik Eropa karena dinilai tidak etik. Beberapa media menulis bahwa kebijakan “take it or leave it” itu mengingatkan pada era otoritarian sepak bola 1990-an, di mana manajemen memiliki kuasa penuh atas karier pemain (Suara.com, 18/10).  Sementara itu, asosiasi pemain Belanda (VVCS) dikabarkan tengah mengkaji langkah hukum jika Twente terus menahan Hilgers tanpa alasan kompetitif. Menurut laporan TVOneNews, VVCS menilai keputusan administratif itu melanggar hak dasar pemain profesional (TVOneNews, 20/10).

Kondisi ini membuat karier Hilgers seolah “dimatikan hidup-hidup”. Ia tetap dibayar, tetap berlatih, tapi tak mendapat jam bermain. Dengan mental yang kuat, Hilgers memilih bertahan diam sebuah keputusan yang mengundang simpati pendukung Indonesia di luar negeri.

Hilgers bukan tipe pemain kontroversial. Dalam beberapa wawancara lamanya, ia sudah menunjukkan karakter kalem. Saat menolak kontrak pun, ia tetap menyalami staf klub dan hadir dalam sesi latihan tanpa drama. Menurut CNN Indonesia, cara elegan ini menjadi bentuk “protes bermartabat”, dan memunculkan respek dari banyak pihak (CNN Indonesia, 20/10).
Sementara itu, media Belanda menilai tindakan Hilgers sengaja diarahkan untuk menjaga peluang transfer di musim dingin nanti. Dengan tetap tampil profesional, klub-klub lain tak akan ragu merekrutnya. Bahkan kabar terakhir menyebut Stade Brest dan AZ Alkmaar kembali memantau perkembangannya (Bola.net, 20/10).

Kini, masa depan Hilgers di Twente nyaris berakhir. Jan Streuer mengisyaratkan bahwa negosiasi akan dilanjutkan pada Desember jika kedua pihak masih bersedia berdialog. Namun, situasi tampak mustahil membaik. Twente sudah mulai menurunkan bek muda Ruud Nijstad sebagai pengganti tetap di lini pertahanan (Jawapos, 21/10). Sementara itu, Hilgers terus menjaga kondisi fisik agar siap pindah klub di Januari mendatang. Ia masih berstatus pemain FC Twente secara kontraktual hingga musim panas 2026, tetapi posisi dan perannya di tim praktis sudah digantikan (Kompas TV, 15/10).

Konflik antara Mees Hilgers dan manajemen FC Twente tidak muncul karena ego atau ambisi pribadi, tetapi karena benturan nilai profesionalisme. Hilgers menolak kontrak bukan karena ketamakan, melainkan karena kehilangan rasa percaya terhadap kebijakan pihak klub. Dengan menolak secara halus tanpa publikasi, tanpa sindiran ia justru memperlihatkan sisi paling dewasa dari seorang pemain modern: memilih kehormatan ketimbang perdebatan.

Januari 2026 akan menjadi babak baru, bukan hanya untuk masa depannya, tapi juga sebagai pelajaran bahwa dalam sepak bola, tidak semua penolakan butuh suara; kadang, diam bisa lebih lantang daripada pernyataan resmi.