21.10.2025
Waktu membaca: 6 menit

Champion League Time! Protes dan Sindiran Warnai Pertandingan di Luar Eropa

Champion League Time! Protes dan Sindiran Warnai Pertandingan di Luar Eropa

Rencana UEFA untuk menggelar beberapa pertandingan Liga Champions 2025–2026 di luar benua Eropa memicu gelombang protes besar-besaran dari sejumlah klub elit, terutama Real Madrid. Klub ibu kota Spanyol itu menjadi suara utama yang mempertanyakan legitimasi dan moralitas langkah tersebut, mengingat Liga Champions sejak kelahirannya pada 1955 dikenal sebagai kompetisi eksklusif bagi juara Eropa (Goal, 14/08).

Presiden Florentino Pérez menganggap kebijakan baru ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan semangat kompetisi. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa UEFA melangkah terlalu jauh mengejar keuntungan komersial, meninggalkan ruh sportivitas yang menjadi dasar kebanggaan klub-klub Eropa selama puluhan tahun (Bola.com, 30/09).

Surat Resmi Real Madrid kepada UEFA

Sebagai bentuk penolakan resmi, Real Madrid mengirimkan surat terbuka kepada UEFA dan FIFA pada pertengahan Agustus 2025. Dalam dokumen itu, Perez meminta badan sepak bola Eropa membatalkan keputusan menggelar laga fase grup di Amerika Serikat, Qatar, dan Arab Saudi. Madrid menilai keputusan UEFA dibuat tanpa konsultasi dengan klub peserta, sehingga melanggar prinsip transparansi dan keadilan kompetitif dalam olahraga (Goal, 14/08).

Surat itu juga menyinggung dasar hukum internal UEFA yang menyebutkan bahwa kompetisi antarklub hanya dapat digelar “di bawah yurisdiksi anggota konfederasi Eropa”. Madrid menegaskan akan membawa isu ini ke Court of Arbitration for Sport (CAS) apabila UEFA bersikeras melanjutkan rencana tersebut.

Reaksi cepat dari Madrid mendapat dukungan dari beberapa federasi nasional seperti DFB (Jerman) dan FIGC (Italia) yang sama-sama merasa langkah ini membuka celah komersialisasi tanpa batas. Mereka menilai potensi terbaik bagi ekspansi adalah melalui turnamen pramusim, bukan kompetisi resmi antarklub (Kompas, 18/10).

Bentuk Aksi Protes di Lapangan

Selain secara administratif, Real Madrid juga melakukan aksi simbolik di lapangan. Dalam pertandingan Liga Champions pekan ketiga, para pemain melakukan diam bersama selama 15 detik pertama laga sebagai bentuk “keheningan Eropa” — simbol protes terhadap globalisasi kompetisi. Aksi tersebut disambut tepuk tangan publik Santiago Bernabéu serta diikuti oleh sejumlah klub seperti Bayern München dan Borussia Dortmund pada pekan berikutnya (Bolasport, 19/10).

Ancelotti, sang pelatih, menilai bahwa pertandingan di luar Eropa dapat mempengaruhi performa pemain. “Perjalanan antarbenua di tengah jadwal padat adalah ancaman bagi kesehatan atlet. Ini bukan soal politik, tapi soal profesionalisme,” ujarnya dalam wawancara pascalaga (DetikSport, 20/10).

Kritik terhadap UEFA dan Komersialisasi Berlebihan

Madrid menilai bahwa langkah UEFA ini bukan sekadar ekspansi, melainkan strategi pasar agresif untuk menarik sponsor dan hak siar global. Pérez menyebutnya sebagai “komersialisasi tanpa kontrol”, di mana penggemar Eropa dianggap sekunder dibanding penonton global. Ia menilai bahwa Liga Champions seharusnya menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi (Goal, 14/08).

Dalam pandangan Madrid, keputusan UEFA sebagian besar didorong tekanan sponsor Amerika dan perusahaan penyiaran global yang menginginkan “pengalaman langsung” di pasar luar negeri. Namun, hal itu justru dapat memunculkan ketimpangan ekonomi karena klub besar yang sering tampil akan menikmati momentum promosi lebih banyak dibanding klub menengah (Kompas, 18/10).

UEFA menolak tudingan tersebut. Dalam pernyataan resminya, badan itu menegaskan langkah ini diambil untuk “mendekatkan sepak bola Eropa dengan penggemar dunia” dan memastikan pertumbuhan berkelanjutan di pasar Asia-Amerika (UEFA.com, 02/09).

(Javier Tebas mengungkapkan respond real madrid berlebihan)

Presiden La Liga, Javier Tebas, turut masuk dalam perdebatan. Ia menyebut Real Madrid tidak pantas memprotes rencana UEFA, sebab klub itu sendiri pernah menggagas proyek kontroversial European Super League pada 2021.

“Mereka berbicara soal moralitas kompetisi, tapi dulu hendak memisahkan diri dari sistem sepak bola Eropa,” ujar Tebas menyindir (Bola.net, 09/10).

Tebas menilai Madrid menentang segala inisiatif yang tidak berada di bawah kontrol mereka. Baginya, proyek global UEFA justru memperkuat posisi La Liga di panggung dunia karena membuka peluang bagi klub Spanyol untuk memperluas pasar. Namun, pernyataan ini mendapat reaksi sinis dari media Madrid yang menyebut sang presiden “lebih loyal pada kontrak siaran daripada penggemar lokal” (RaporBola, 11/10).

Ketegangan antara Tebas dan Pérez menjadi salah satu isu domestik terbesar musim ini di Spanyol. Keduanya berulang kali saling sindir di media, bahkan Tebas menyebut Madrid “kehilangan akal” karena menolak setiap hal yang tidak mereka kendalikan (DetikSport, 06/02).

Daftar Laga Liga Champions di Luar Eropa

Menurut keputusan UEFA pada awal September, terdapat empat pertandingan fase grup musim ini yang digelar di luar Eropa sebagai bagian dari Global Promotion Initiative 2025–2026. Laga tersebut antara lain:

  1. Barcelona vs Galatasaray – Hard Rock Stadium, Miami (Amerika Serikat)
  2. Manchester City vs AC Milan – King Fahd International Stadium, Riyadh (Arab Saudi)
  3. Paris Saint-Germain vs Benfica – MetLife Stadium, New York (Amerika Serikat)
  4. Bayern München vs Arsenal – Education City Stadium, Doha (Qatar)

Sementara final musim ini tetap akan dimainkan di Puskás Aréna, Budapest, pada Mei 2026 (Goal, 01/09).

Keempat pertandingan tersebut ditandai sebagai “fase promosi global”, di mana setiap laga digelar dengan protokol dan standar UEFA namun bekerja sama dengan federasi lokal setempat. Meskipun UEFA menegaskan pertandingan ini memiliki nilai kompetitif penuh, banyak pihak menilai pemindahan lokasi akan memengaruhi iklim fair play karena faktor cuaca dan perbedaan zona waktu (Kompas, 18/10).

Reaksi Klub dan Dukungan Solidaritas

Selain Real Madrid, beberapa klub besar turut menyuarakan keberatan. Borussia Dortmund menilai keputusan itu “melenceng dari semangat komunitas Eropa,” sementara Ajax Amsterdam menyebutnya “eksperimen berisiko terhadap identitas UEFA.” Meski demikian, beberapa klub Inggris seperti Manchester United dan Chelsea justru mendukung langkah ini karena dianggap membuka peluang bisnis jangka panjang (Bola.net, 28/09).

Beberapa federasi suporter seperti Football Supporters Europe (FSE) mengeluarkan petisi online yang diikuti lebih dari satu juta tanda tangan. Isi petisi menuntut UEFA mengembalikan semua laga ke wilayah Eropa mulai musim 2026/27.

Secara politik, sikap Real Madrid dapat dipahami sebagai bagian dari upaya mempertahankan posisi klub-klub tradisional dalam peta kekuasaan sepak bola dunia. Dengan meningkatnya pengaruh finansial negara-negara Timur Tengah dan investor Amerika, dominasi klub lama mulai terancam. Dalam pandangan Madrid, menjaga Liga Champions tetap eksklusif di Eropa berarti menjaga warisan dan nilai kompetitif sejati (Goal, 14/08).

Namun, di sisi ekonomi, langkah UEFA mendapat dukungan banyak sponsor karena meningkatkan nilai siaran global hingga 18 persen dibanding musim sebelumnya. Artinya, meskipun menuai kritik, strategi ini berpotensi menjadi standar baru bagi kompetisi elite di masa depan (UEFA.com, 02/09).

Kontroversi penyelenggaraan Liga Champions di luar Eropa menunjukkan tarik-menarik antara tradisi dan modernitas, idealisme dan komersialisme. Bagi Real Madrid, ini bukan sekadar soal tempat pertandingan, melainkan tentang mempertahankan makna historis kompetisi tertinggi antarklub di dunia.

Meski UEFA berupaya menenangkan situasi dengan dialog, perdebatan ini menegaskan satu hal: bahwa sepak bola Eropa kini tengah berada di persimpangan antara menjaga jati diri dan beradaptasi menghadapi pasar global (Kompas, 18/10).