30.10.2025
Waktu membaca: 3 menit

Liverpool Terpuruk Usai Juara: Krisis Identitas di Era Arne Slot

Liverpool Terpuruk Usai Juara: Krisis Identitas di Era Arne Slot

Liverpool sedang menghadapi masa-masa paling sulit dalam satu dekade terakhir. Hanya berselang beberapa bulan setelah menutup musim 2024/2025 sebagai juara Premier League, The Reds kini terjun bebas dalam performa yang mengkhawatirkan. Hingga akhir Oktober 2025, mereka mencatat tujuh kekalahan hanya dalam kurun waktu 32 hari — sebuah periode kelam yang mengguncang kepercayaan diri tim, pelatih, dan penggemar.

Dalam rentang waktu tersebut, Liverpool hanya mampu meraih satu kemenangan di semua kompetisi. Kekalahan demi kekalahan datang silih berganti, baik di Premier League maupun kompetisi lain seperti Carabao Cup dan Liga Champions. Kekalahan terbaru terjadi pada 29 Oktober 2025, ketika mereka dipermalukan Crystal Palace dengan skor 0–3 di Anfield pada babak 16 besar Carabao Cup. Arne Slot, yang baru beberapa bulan menukangi Liverpool menggantikan Jürgen Klopp, memilih menurunkan tim pelapis. Keputusan itu berujung bencana karena tanpa kehadiran pemain kunci seperti Virgil van Dijk dan Mohamed Salah, permainan Liverpool terlihat rapuh dan tanpa arah.

Sebelum laga itu, mereka juga sudah tumbang dari Brentford, Manchester United, Chelsea, dan Galaray. Dalam sebagian besar pertandingan tersebut, Liverpool tampak kehilangan energi dan determinasi yang selama ini menjadi DNA mereka di Klopp. Mantan bek sekaligus legenda klub, Jamie Carragher, menyebut bahwa Liverpool saat ini tengah “kehilangan jati diri” — tim yang dulu dikenal karena intensitas tinggi, pressing ketat, dan semangat juang tiada henti kini tampil pasif dan mudah kehilangan bola. (Suara.com, 27/10; CNN Indonesia, 30/10; Kompas, 28/10).

Krisis ini bukan hanya persoalan hasil, tapi juga soal mental dan identitas. Setelah kepergian Klopp, Arne Slot dihadapkan pada ekspektasi besar untuk mempertahankan kultur kemenangan yang telah dibangun selama hampir satu dekade. Namun, adaptasi gaya permainan Slot — yang lebih menekankan penguasaan bola dan struktur taktik ketimbang intensitas fisik — tampaknya belum diterima sepenuhnya oleh pemain. Beberapa laporan dari ruang ganti menyebutkan suasana yang muram dan tegang. Setelah kekalahan dari Brentford, tidak ada satu pun pemain yang berbicara di ruang ganti, menggambarkan betapa rapuhnya atmosfer internal tim saat ini (Bola.com, 26/10).

Media Inggris bahkan menyebut Liverpool sedang dalam “fase krisis penuh”. Statistik memperkuat anggapan itu: The Reds menjadi salah satu tim dengan performa terburuk di lima liga top Eropa sepanjang Oktober 2025, hanya mampu mencetak lima gol dan kebobolan 18 kali. Beberapa bintang utama seperti Darwin Núñez, Dominik Szoboszlai, dan Trent Alexander-Arnold juga tampil di standar. Rotasi besar yang dilakukan Slot untuk menjaga kebugaran pemain justru memperparah situasi karena mengacaukan ritme dan konsistensi tim (IDN Times, 26/10).

Selain faktor taktik, beban finansial turut jadi sorotan. Liverpool diketahui telah menghabiskan sekitar Rp9 triliun untuk belanja pemain sejak musim panas 2024. Namun investasi besar itu belum membuahkan hasil nyata. Banyak rekrutan anyar belum menunjukkan dampak signifikan, dan beberapa justru kerap absen karena cedera. Kondisi ini memicu kritik keras dari media dan penggemar, yang menilai manajemen terlalu cepat melakukan perombakan tanpa mempertimbangkan kesinambungan gaya permainan.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: apakah Liverpool sedang mengalami kejenuhan era setelah masa keemasan di Klopp? Banyak pengamat berpendapat bahwa transisi ke Slot seharusnya dilakukan secara bertahap, bukan revolusioner. Gaya bermain berbasis pressing tinggi yang sudah mendarah daging di skuad tiba-tiba berubah menjadi sistem penguasaan bola statis, membuat pemain kehilangan insting alami mereka di lapangan.

Kini, tekanan terhadap Arne Slot semakin berat. Dengan jadwal padat di bulan November — menghadapi Arsenal, Manchester City, dan laga penting Liga Champions — setiap pertandingan akan menentukan nasibnya. Fans Liverpool yang dulu menaruh harapan besar kini mulai khawatir, sementara para legenda klub menyerukan perlunya “kembali ke akar”: intensitas, keberanian, dan kerja keras.

Jika Slot tak segera menemukan formula yang tepat, musim 2025/2026 bisa berubah menjadi mimpi buruk bagi Liverpool. Dari klub juara menjadi tim yang kehilangan arah hanya dalam hitungan bulan — inilah potret krisis identitas yang kini tengah melanda Anfield.