04.12.2025
Waktu membaca: 4 menit

Petr Yan dan Kans Menulis Ulang Sejarah di UFC 323

Petr Yan dan Kans Menulis Ulang Sejarah di UFC 323

Terakhir kali Petr Yan merasakan pahitnya kekalahan di dalam Octagon, itu terjadi di tangan petarung asal Georgia yang kini menjadi mesin penghancur divisi bantamweight: Merab Dvalishvili. Dua tahun berlalu sejak malam itu, dan Dvalishvili bukan hanya naik level ia mempertahankan sabuk bantamweight tiga kali, termasuk menumbangkan Sean O’Malley dua kali, serta menjinakkan Umar Nurmagomedov dan Cory Sandhagen.

Dengan dominasi sang juara, pintu kesempatan bagi Petr Yan justru terbuka kembali. Mantan raja 135 lbs itu kini berada tepat di jalur yang mengarah pada misi pembalasan, tepat di panggung besar UFC 323.

Publik mungkin mendambakan nama baru di perebutan sabuk, tetapi Yan menempuh rute panjang yang membuat rematch ini terasa sangat layak. Dalam dua tahun terakhir, ia mengalahkan Song Yadong yang berada di Top 5, kemudian tampil klinis saat menekuk mantan juara flyweight Deiveson Figueiredo dalam duel lima ronde.

Tidak berhenti di situ, Yan mempertaruhkan posisinya dengan menerima tantangan berbahaya dari prospek panas Marcus McGhee, yang datang dengan modal enam kemenangan beruntun. Namun Yan tetap memilih maju, bertarung di Abu Dhabi pada musim panas 2025, dan menang lewat keputusan bulat tanpa banyak perdebatan.

Kemenangan tersebut menegaskan satu hal: Yan kembali matang, kembali fokus, dan kembali siap mengincar sabuk yang pernah melilit pinggangnya. Pertarungan melawan Merab pada 6 Desember di Las Vegas menjadi titik klimaks perjalanan panjangnya.

Dvalishvili: Mesin Tanpa Rem yang Tak Pernah Melambat

Sejak dua kekalahan beruntunnya di awal karier UFC, Dvalishvili berubah menjadi petarung yang hampir mustahil dihentikan. 14 kemenangan beruntun, dengan setiap pertarungan menunjukkan mesin yang semakin efisien, semakin agresif, dan semakin sulit dibendung.

Yan, yang pernah berada 25 menit bersama Dvalishvili di dalam kandang, menyatakan ia tahu di mana letak kesalahan dirinya dan para lawan lain.

“Banyak yang melakukan kesalahan sama,” kata Yan. “Termasuk saya sendiri. Mereka menunggu. Mereka membiarkan Merab bekerja. Cara mengalahkannya adalah mengambil inisiatif sejak awal.”

Yan tidak hanya berbicara soal bertahan dari takedown. Ia berbicara soal membunuh ritme, mengacaukan pola, dan membuat Merab frustrasi sebelum mesin itu memanas.

Di kertas, kekalahan Yan pada Maret 2023 adalah yang paling berat dalam kariernya. Namun data pertempuran itu menyimpan catatan penting: Merab melakukan 49 percobaan takedown dan hanya 11 yang sukses.

Menghentikan 38 takedown bukanlah prestasi kecil. Tetapi Yan tahu angka upaya yang besar itu tidak boleh terulang.

Ia harus memangkas percobaan takedown bukan hanya menghentikannya dan itu berarti ia yang harus menekan lebih dulu. Dari ronde pertama hingga ronde kelima.

“Saya tidak 100 persen waktu itu,” ungkap Yan. “Saya belajar banyak dari pertarungan itu. Sekarang akan sangat berbeda.”

Ada keliarasan dalam nada suaranya: bukan nostalgia, bukan penyesalan melainkan kesiapan.

Rematch yang Berarti Lebih dari Sekadar Sabuk

Uniknya, rematch ini disusun cukup cepat. Dvalishvili baru saja mempertahankan sabuk pada Oktober melawan Sandhagen di UFC 320. Tapi bagi Yan, kesempatan ini ibarat hadiah dari kesabaran panjang selama dua tahun.

“Sabuk yang diraih melalui rematch memiliki bobot berbeda,” ujarnya. “Kamu bukan hanya menang, tapi menebus kekalahan.”

Dan bagi seorang mantan juara seperti Yan, sabuk itu bukan sekadar simbol. Itu adalah validasi. Itu adalah pembuktian bahwa ia bukan petarung yang sekadar tersingkir oleh generasi baru. Ia masih ada di sana. Ia masih ancaman terbesar di 135 lbs. Melihat gaya keduanya, pertarungan ini akan ditentukan oleh tiga elemen kunci:

1. Tekanan Awal

Jika Yan mengambil center Octagon dan menahan Merab agar tidak menginisiasi takedown, keseimbangan pertarungan bisa berubah drastis.

2. Efisiensi Grappling

Merab akan tetap melakukan takedown dalam volume besar. Pertanyaannya: apakah Yan cukup agresif untuk memaksa Merab mundur?

3. Stamina dan Ritme

Pertarungan lima ronde adalah wilayah favorit Merab. Yan harus mempertahankan tempo tanpa memberi kesempatan Merab menyalakan mode “mesin diesel” di ronde akhir.

Jika Yan mampu mengacaukan ritme sejak awal, pertarungan bisa berubah menjadi duel teknis yang jauh lebih seimbang dari pertemuan pertama.

Petr Yan menunggu dua tahun untuk momen ini. Dan bagi seorang mantan juara yang pernah kehilangan segalanya tahta, momentum, rasa percaya diri kesempatan kedua bukan sekadar pertandingan.

Ini adalah bab baru.
Ini adalah pembuktian.
Ini adalah kesempatan menulis ulang sejarah.

UFC 323 akan menjadi saksi apakah “No Mercy” benar-benar kembali.