03.12.2025
Waktu membaca: 4 menit

Juventus 2-0 Udinese: OG remaja & penalti penentu!

Juventus 2-0 Udinese: OG remaja & penalti penentu!

Juventus melaju mulus ke perempat final Coppa Italia setelah menundukkan Udinese 2–0 di Allianz Stadium. Laga ini dimenangkan lewat dua momen sederhana namun menentukan: gol bunuh diri bek 17 tahun Matteo Palma pada babak pertama dan eksekusi penalti dingin Manuel Locatelli setelah jeda. Menurut OneFootball pada 3 Desember 2025, dua momen itulah yang “mengunci” kelolosan Bianconeri dengan relatif nyaman.

Juventus membuka laga dengan kontrol bola dan ritme tinggi. Garis pertahanan Udinese didorong mundur sejak menit-menit awal, terutama ketika Weston McKennie beberapa kali mematahkan blok tengah lewat umpan diagonal ke area sayap. Tekanan itu pecah pada pertengahan babak pertama ketika bola kiriman McKennie memicu kemelut, Palma keliru mengantisipasi, dan bola memantul masuk ke gawang sendiri — Juve 1–0. OneFootball mencatat gol awal sebagai OG Matteo Palma (17 tahun), detail yang menonjol karena usia sang pemain dan dampak psikologisnya bagi tim tamu.

Selepas jeda, skenarionya tak banyak berubah. Juventus menjaga tempo, menahan risiko, dan menunggu celah di kotak penalti. Ketika sebuah pelanggaran terjadi di area terlarang, wasit menunjuk titik putih; Manuel Locatelli maju dan mengeksekusi dengan tenang untuk menutup skor 2–0. Menurut Yahoo Sports pada 3 Desember 2025, kombinasi OG + penalti Locatelli menjadi benang merah kemenangan “profesional” ala Juve di malam piala.

Menariknya, ada perbedaan pencatatan untuk gol pertama. Laman ESPN merekam skor pembuka sebagai gol Jonathan David menit ke-23, bukan OG Palma, sementara OneFootball dan Yahoo menulisnya sebagai bunuh diri pemain Udinese berusia 17 tahun itu. Perbedaan semacam ini wajar terjadi di jam-jam awal pascalaga karena otoritas statistik dan media sering memutakhirkan atribusi gol setelah meninjau ulang momen krusial. Intinya, skor akhir 2–0 dan peran Locatelli sebagai algojo penalti konsisten di semua sumber tepercaya.

Taktik: “menang tanpa drama”

Kunci Juventus malam itu adalah kontrol zona tengah dan rest-defense yang rapi. Struktur 3-4-2-1 yang cair memperbolehkan satu gelandang menekan (agresif ke half-space) sementara yang lain menjaga keseimbangan di depan tiga bek. Hasilnya: Udinese kesulitan mendapat jalur vertikal dan dipaksa mencari alternatif via umpan panjang yang mudah dipatahkan. Black & White & Read All menulis bahwa Udinese bahkan tidak mencatat satu pun tembakan tepat sasaran, sebuah indikator betapa rapi organisasi bertahan Juventus dari lini pertama hingga sepertiga akhir. Mereka juga menyinggung insiden VAR yang sempat memantik perdebatan termasuk momen offside yang membatalkan gol lain namun tak mengubah alur dominasi tuan rumah.

Di sisi bola, Juventus tak berupaya “mencuri perhatian” lewat estetika. Mereka membuat Udinese bertahan di tepi kotak, menumpuk crossing rendah dan cut-back, lalu menunggu kesalahan (yang datang pada OG) dan pelanggaran (yang berujung penalti). Pendekatan ini tepat untuk sepak bola piala: hemat energi, minim risiko, hasil maksimal. JuveFC menyebutnya sebagai performa yang “tenang dan profesional”, cerminan kedewasaan tim di Luciano Spalletti.

Walau tak semua penampilan tercatat di papan skor, Weston McKennie patut disorot karena kontinuitasnya mengalirkan bola dari tengah ke sisi, memaksa Udinese merapat dan kehilangan akses ke transisi balik. Michele Di Gregorio yang dipercaya mengawal gawang memberi ketenangan dalam momen-momen second ball. Menurut BWRAO, rotasi Spalletti tetap menjaga kontrol tempo dan membuat Juventus terlihat segar di sepanjang 90 menit.

Di lini depan, Jonathan David aktif mencari ruang di antara bek tengah dan sayap Udinese. Di sejumlah media, ada catatan bahwa ia “beruntung sekaligus sial” dalam momen-momen akhir berkontribusi dalam tekanan untuk gol awal tetapi sempat terkait keputusan VAR yang tidak menguntungkan. Yahoo Sports (player ratings) bahkan menilai David layak mendapat lebih mengingat volume pergerakan dan koneksinya dengan McKennie.

Angka yang membingkai cerita

Selain nol tembakan tepat sasaran Udinese, ESPN mencantumkan hadirnya 34.674 penonton di Allianz Stadium dan Francesco Fourneau sebagai wasit; detail yang ikut menggambarkan atmosfer yang cukup kondusif bagi Juventus untuk “mengunci” permainan tanpa gejolak panjang. Data resmi di halaman pertandingan itu juga mengarsipkan skor akhir 2–0 untuk memastikan status kelolosan ke perempat final.

Kemenangan ini memperpanjang tradisi Juventus selalu lolos dari babak 16 besar sejak format gugur modern diberlakukan (catatan BWRAO: 18 dari 18). Itu menegaskan bahwa Coppa Italia adalah kompetisi yang mereka pahami betul ritmenya tidak perlu spektakuler, yang penting efisien. Soal lawan di perempat final, OneFootball menuliskan bahwa konfirmasi braket akan bergantung hasil partai lain dan diumumkan jelang Februari, tetapi secara umum Juventus berada di jalur yang menghindari saling bunuh terlalu dini.

Kenapa hasil ini “besar” meski terlihat sederhana?

Karena Juventus menang dengan caranya sendiri. Tidak panik saat buntu, tidak terpancing duel yang tidak perlu, dan mengubah tekanan jadi keputusan OG terjadi karena kepungan di area lima meter, penalti datang dari dominasi ruang di zona 14. Dalam sepak bola piala, efisiensi sering lebih bermakna dibanding pesta gol. JuveFC menyebut performa seperti ini sebagai modal kepercayaan diri menghadapi jadwal padat di liga dan fase berikut Coppa.

Ini bukan malam yang meledak-ledak, tetapi malam yang matang. Juventus menunjukkan wajah paling “piala”: rapi di belakang, klinis di momen penting, dan cukup dingin untuk menutup laga. Dengan fondasi seperti ini, perjalanan di Coppa Italia tampak menjanjikan bukan karena kembang api, melainkan karena mesin yang berjalan sesuai rencana.