21.11.2025
Waktu membaca: 3 menit

Gumayusi Jadi Korban Perundungan Usai Tinggalkan T1

Gumayusi with T1 2024

Usai meninggalkan T1, pihak Lee “Gumayusi” Min-hyeong dikabarkan telah menerima perlakuan tidak mengenakkan dari basis penggemar tim tersebut, yakni dugaan perundungan online yang diterimanya saat masih bermain di tim itu.

Sejatinya, kasus ini merupakan hal yang tidak asing terjadi dalam ranah esports Korea Selatan, terutama mengingat fanatisme penggemar terkadang merambah ke wilayah yang lebih kelam—bahkan merembet hingga kepada keluarga sang pemain. Dan Gumayusi bukanlah pengecualian dari tren buruk ini.

Masalah Gumayusi diduga sudah terlihat saat Ia masih bermain di akademi T1, kemudian semakin intens ketika Ia masuk menjadi bagian utama tim raksasa tersebut. Kehadirannya memicu penolakan dari kalangan basis penggemar T1 terbesar yang kerap disebut T1 Gallery.

Sepanjang tahun 2024 dan 2025, T1 Gallery mengorganisir kampanye perundungan yang tak tertandingi, jauh melampaui kritik penggemar biasa. Mereka menggunakan berbagai metode kejam: protest trucks yang memajang pesan penghinaan terhadap Gumayusi di seantero kota, sementara karangan bunga duka—simbol kutukan dan kematian dalam budaya negara tersebut—dikirim ke kantor T1.

Lebih jauh, kelompok ini juga menyerang Gumayusi secara daring dan di acara publik. Baru-baru ini mereka bahkan melakukan pelecehan yang sangat parah dengan upaya doxxing, penguntitan, dan mencap Gumayusi sebagai “pengkhianat” setelah hengkang dari T1.

Tekanan tanpa ampun ini berdampak berat pada kesehatan mental Gumayusi, hingga memaksanya menjalani konseling intensif. Situasi ini memancing kritik tajam kepada organisasi T1 yang dianggap tidak acuh atau hanya mengeluarkan pernyataan samar tentang tindakan hukum. 

Situasi ini tak ayal perhatian anggota parlemen Korea Selatan bernama Jeon Yong-gi dari Partai Demokrat, yang secara terbuka mengutuk perundungan siber ini dan menyerukan KeSPA, Riot Korea, serta platform media sosial untuk mengambil tindakan perlindungan tegas. Ia menyebut pelecehan ini sebagai bagian dari krisis industri hiburan yang lebih luas, menekankan bahwa hal ini telah melenceng dari kritik penggemar menjadi serangan pribadi yang berbahaya.

Meski belum ada kabar lanjutan, pihak legal Gumayusi tidak tinggal diam setelah melihat kejadian ini dan berencana untuk memerangi pihak yang telah mencoreng harga dirinya.

Bukan yang pertama kali menimpa T1

Di luar Gumayusi, T1 juga sempat dihebohkan dengan pengalaman pahit yang menimpa sang legenda, Lee “Faker” Sang-hyeok, yang diwarnai fitnah dan pencemaran nama baik yang terarah. Sebagai pemain League of Legends paling terkenal di dunia, Faker terus menerus menghadapi serangan pribadi yang keji, termasuk pembuatan komunitas anti-Faker yang sempat populer.

Faker lantas mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan pidana terhadap pelaku daring anonim. Kasusnya menegaskan batas tegas antara kritik profesional yang legitimate dan pelecehan pribadi yang bermuatan kebencian. Gugatan Faker merepresentasikan sikap proaktif untuk melindungi reputasi dan kesejahteraan mentalnya dari perilaku penggemar beracun.

Pengalaman Gumayusi dan Faker mengungkap arus yang mengkhawatirkan dalam fanatisme esports Korea—di mana gairah penggemar dapat berubah menjadi racun, melahirkan pelecehan, ancaman, dan trauma psikologis bagi para pemain. Organisasi seperti T1 menghadapi tekanan yang semakin besar untuk melindungi atlet mereka lebih efektif dan menjaga jarak dari kelompok penggemar yang terlibat dalam perilaku destruktif dari pihak luar.